Jumat, 15 April 2011

Wahai Cinta Inilah Nyeri Merindu Wajahmu!


(Puisi: Nanang Suryadi)

kuhadapkan wajahku barat timur utara selatan tenggara barat laut timur laut barat daya coklat tanah biru langit menghadapmu o wajah yang dirindu dalam ingat yang lamat sebagai seru kami bersaksi o yang satu tempat segala mula tempat segala kembali tapi jarak juga waktu membentang berliku jalan menemu engkau kembali menemu senyummu kembali kuhadapkan wajahku barat timur utara selatan tenggara baratlaut timur laut barat daya coklat tanah biru langit merindu tatapmu

kekasih tiba-tiba aku merasa hidupku sia-sia sebagai pecundang yang lari dari medan perang sembunyi dalam dengkur mimpi berlari dari kemestian yang harus dihadapi apa yang kucari di dunia ini karena engkaulah segala mula engkaulah segala tuju tapi aku terpelanting dalam goda dan rayu seperti moyangku dahulu demikian gaduh dalam dada dan kepalaku ditabuh segala peristiwa ramai hingga aku mengaduh menyeru namamu berulang kali aku demikian letih di mana cahaya matamu masihkah ada harap untuk menemu senyummu sedang terus berlari aku dengan segala khianat dan pembohongan atas diri sendiri hendak menipu tatapmu yang menusuk relung hati

engkaukah yang suatu ketika mengajakku terbang ke langit hingga daging menjerit karena ia mencintai dunia walau fana engkaukah yang suatu ketika mengajakku telusuri lorong waktu ruang tak terhingga batasnya hingga daging tersayat melepuh di pucuk api engkaukah yang suatu ketika mengajakku dalam gigil doa menjelang pagi melecutku berulangkali

orang yang salah membenci dirinya sendiri seperti sobekan-sobekan kertas dari petasan yang diledakan hingga diburu pintu-pintu hingga tangannya berdarah mengetuk menggedor hingga bibirnya kering tenggorokannya serasa pecah hingga ia bertanya adakah yang tahu kebenaran ada di mana tapi tiada jawaban hanya senyap seperti biasanya

kekasih jangan tinggalkan aku sendiri aku gigil dalam ketakutan kehilangan engkau dari diri aku berlari dari kemelut dan maut sedang kutahu di tangannya ada kunci pembuka pintu menemu dirimu tapi aku masih takut menemu cintaku menemu dirimu dengan segala malu pengkhianatan melulu

cukupkan sampai di sini keinginan tak akan ada habisnya kepuasan tak akan ada ujungnya cukupkan sampai di sini pesta kemenangan merayakan kekalahan diri sendiri sudah habis waktu hentikan helai demi helai terbuka rahasia demi rahasia karena pada regukan pertama api berkobar menjela-jela

dikurung ia dibakar dalam api murni agar muai dan tunduk demikianlah engkau bertanya suatu ketika dan ia pun mengangguk setuju lalu disandingkan dengan napas cahaya yang kau hembuskan dalam dada rentang ruang juga waktu telah membikinnya lupa walau pernah ada rindu menyelinap suatu ketika ia bermain bersama pucuk api memetakan khianat berulang kali dan napas cahaya tinggal jerit sendiri

ketika rasa takut ini datang siapa lagi yang bisa membangkitkan keberanian selain engkau ketika rasa putus asa ini datang siapa lagi yang akan menumbuhkan harapan selain engkau tempatku bergantung tunjukan jalan senantiasa berilah kekuatan berilah ketabahan

aku menyapamu dalam mimpi yang mengembun pada subuh yang sebentar kan merekah cuma sepi dan rasa nyeri yang dibisikkan menanti matahari mungkin akan pecah dalam kepala betapa panasnya bergolak ini benak kepala juga dalam dada sepertinya telah habis semua kuceritakan tiada lagi rahasia diriku tegak telanjang di hadapanmu

kekasih adakah waktu adakah ruang adakah diriku sendiri menjengukmu dalam deru cuma rindu yang sanggup menahanku padamu kutatap segala walau kebisingan ini mungkin melindas segala kenangan tapi tidak padamu

detak pada waktu jantungku menyeru engkau tangis tertahan tumpahlah tumpahlah sebuah jarak direntang dinding membatas sebuah khianat walau katamu aku begitu dekat ya kekasih aku menggigil menemu diri begitu kerdil ya kekasih ku ingin menatapmu selalu selalu

sebagai adam yang terusir dari negeri jauh itu akupun menangis dan memohon ampun atas penzaliman diri sendiri sebagai nuh yang menangis mendoa di hujan deras meminta ampunan bagi kanaknya yang durhaka sebagai yunus yang lari dari kaumnya dan berdoa di perut ikan nun sebagai ibrahim yang berdoa meminta ampunan bagi bapak pembuat berhala aku berdoa sebagai orang-orang yang telah menzalimi diri sendiri di usia sia-sia tak henti menerima kekalahan diri sendiri dari goda dari angan mimpi yang dikejar sebagai bayang tiada habis ke ujung cakrawala gairah yang menyala sambil mencoba menipu diri sendiri menipu tatapmu berulangkali dengan khianat tapi engkau demikian tajam menatap tak aku sanggup sembunyi bahkan dari diri sendiri yang menyeru agar aku berhenti menzalimi diri sendiri di lintasan waktu yang membuat dada cintaku pecah berhamburan peristiwa-peristiwa kegilaan pikiran memuncak puncak ke cakrawala otakku hingga burai segala isi sebagai pecahan-pecahan kaca kepingan wajahmu terbanting ke lantai kasar jiwaku yang gelap rindu cahaya cintamu rindu cahaya ampunmu rindu cahaya kasihsayangmu selalu
demikianlah hiruk pikuk serta sihir dunia telah memabukanku hingga terasa perutku diaduk-aduk benakku diaduk-aduk dadaku diaduk-aduk hingga ingin dimuntahkan segera seperti gelas yang penuh dan luber dan mengalir ke mana entah mungkin ke ketiadaan atau asal mula segala persoalan sebagai diingat kekosongan menemui diri sendiri ditumpahkan segala tangis dan aduh pada kesunyian seperti abad-abad kesunyian al-kahfi atau keheningan hira di mana muhammad menekuri kesejatian hidup hingga malam-malam adalah tangis ruh yang merindu kekasih yang menghembus cintanya ke dalam dada sendiri ingin kembali pulang terbang menembus tabir-tabir rahasia wajahnya yang maha rahasia wajahnya di tabir cahaya di lapis cahaya hingga ia menari dalam dendang lagu rindu yang menghentak-hentak hingga terbang dalam dawam-lafaz nama kekasih yang dirindu yang tak terhingga jarak dan waktu sebagai likuliku pendakian ke hakikat makrifat terbang dengan sayap yang robek dan patah di tengah taifun badai menghempashempas membantingbanting ke tebing tebing derita bahagia sebagai kesunyian yang diterima para pecinta yang merindu wajahnya

senyeri dalam dadaku kekasih engkau adalah tikaman hunjaman sayatan ke dalam dadaku yang tak henti dengan segala tatap yang memporakkan segala rahasia hidupku kekasih yang kau asingkan ke dunia demikian bising dan penuh goda hingga terasa sia-sia segala usia di mana tak kutemukan engkau dalam nadi jiwaku selain denting denting yang timbul tenggelam dari masa lalu dalam hilap dan alpa yang menggunting gunting ingatan hingga compang camping hidupku dengan segala khianat perselingkuhan pada kesejatian cintamu dengan goda sihir dunia yang dihembus sebagai silir angin nafsu birahi pada kelamin yang menegang dan mata yang membelalak terpukau pada selain engkau o kekasih yang jauh dalam kenanganku di mana engkau aku mencarimu dengan segala luka dalam jiwaku merindu dirimu dengan tangan menggapaigapai ingin jumpa dirimu dalam sekarat mautku dalam derita kesepian bikin nyeri menjadi-jadi dalam dada sendiri demikian lebur dalam amuk sajak tak henti ingin menemu akhir dan mula katakata

berulang kueja nama berulang dalam zikir rindu tapi tak sampai pada hakikat alifbataku berulang kueja nama berulang dalam dawam cinta tapi tak khatam sampai pada makna berulang kueja nama berulang hingga tumpas diri mabuk kepayang bayangmu di puncak nyeri rahasia wajahmu

bahkan tak kutahu diriku sendiri bagaimana kukantahu dirimu walau sedekat urat di leherku bagaimana kan kutahu engkau merahasia selalu melari dari tanya melari dari kepastian jawab bagaimana kan kutahu engkau bahkan tak kutahu diriku sendiri

demikianlah kekasih dunia memabukanku dengan gemerlap tapi rasa sakit juga yang bersarang di sini di rabu tertakik aku ingat engkau lamat-lamat adakah dari mulutku sebuah gumam doa terlontar diam-diam seorang yang menzalimi diri sendiri bukankah tanganku yang membakar ini semua meluluhlantakan kasih sayang bukankah aku yang mencuri di hadapanmu kekasih dunia memabukanku dan engkau? semakin lamat di kejauhan

demikian sayup suara dalam gigil angin senja namamu diterbangkan dari puncak menara o engkau yang kian samar demikian sayup memanggiliku kembali setulus cintamu gemetarkan aku penuh rindu zikir dalam sunyi diri sendiri

demikian lindap cahaya menyergap kelam di batas angan menerpa-nerpa o orang yang lelah susuri waktu merutuki nasib sendiri tapi sesal tak cukup menutup tapi kesal tak cukup merungkup segala sunyi adalah mimpi adalah diri adalah tiktakjam tak henti o orang yang lelah meludah ke langit mampir ke wajah sendiri tapi muram tak cukup memeram tapi geram tak cukup menggaram ke mana pergi langkah kaki pejalan tak berpeta pelamun celaka o orang yang lelah menantang badai angin menampar pipi tapi mimpi tak cukup memberi tapi janji tak cukup menepati di mana ujung segala cerita riwayat para petualang o orang yang lelah di mana kan istirah

berapa lagi jeram harus diarungi berapa lagi gelombang harus dihadapi perahu kecil di tengah badai terombang ambing jeram curam gelombang bandang wahai berapa lagi jarak akan sampai padamu

mata pada pelupuk dicium angin karena manusia mimpi kenangan juga kesunyian hidup menjadi lorong-lorong cahaya di ujung pada berkas harap mungkin kekalahan juga atau sesal mengendap pada tatap atau malam yang ratap tapi gapai tak sampai tangis tak usai terjemah kehendak atau takdir tuhan

gemetar rinduku merenangi peristiwa padamu tumpah kesah muara gundah mungkin tanyamu mengapa dusta pada bibir karena pada jiwa terukir janji setia pada engkau yang selalu terjaga

ada yang tersedu saat waktu telah menutup mungkin bunga ditabur tonggak ditancapkan serupa ingatan musim berguguran beringsut mendekat perlahan menuju tanyamu engkau kekasihku wajah dipalingkan duh rindu tak sampai lintasan tak usai karena nyala usia dihabiskan sia-sia

wahai maha rahasia jika kutemu jawabnya masihkah kau mau mengelak lagi

aku jiwa yang lapar dan haus menagih-nagih sekucur darah dari luka-luka nganga di langit yang pecah berhamburan dalam dadaku yang rapuh tak henti keluh melempar-lempar aduh hingga getarnya sampai mengguncang guncang
gegunung lembah bebatu berlesatan ambruk ke dalam gelegak lava yang menguapkan kepedihan dalam jiwaku yang lapar dan haus akan darah hingga wajah-wajah masai tak berupa menjadi lukisan abstrak pada pasir pasir pantai dihanyutkan arus gelombang keperihan yang meraja dalam jiwaku yang lapar memagut aksara demikian liar dan nanar menyimpan rindu berdebu di buku-buku yang tak mencatatkan penanggalan di mana bermula segala riwayat derita dan bahagia manusia yang terlontar di rimba pergulatan di jalan jalan penuh dusta dan petaka di mimpi mimpi buruk tak berujung pangkal carut marut tak habis menelikung menggunting menikam dengan hunusnya yang tajam hingga aku adalah penyandang kutuk yang tak henti-henti menagih dengan cucuran airmata yang menetes di rerumputan padang padang perburuan dan peperangan di mana dipanaskan segala mesin demi segala yang kau ingin demi tuntas segala nyeri rindu dan rasa lapar yang tak henti-henti menyayat-nyata jiwaku yang terus berteriakteriak tak henti dilecut-lecut api yang mencambuk-cambuk kepalaku sendiri hingga benak otak berhamburan di medan-medan keberanian dan kebodohan di jalan-jalan penuh lubang nganga di lubang-lubang pemakaman massal dan rumah rumah sakit jiwa karena engkau demikian lapar dan gigil yang tak henti memanggil diriku untuk kembali


kugapaigapai harapku timbul tenggelam dalam engkau melindaplindap cahaya di jauh-jauh pandang ah beri aku seteguk lagi mungkin rasa rindu atau cinta dinihari agar wajahmu tak lenyap agar harapku tak lumat agar lebur diriku dalam cahaya tatapmu

setiap langkahku menujumu selalu di mana pintu-pintu terbuka di mana engkau menunggu dan menunggu dengan rindu ah mengapa dera tak menjadikanku tahu engkau merindu ke mana ku menuju

berapa mawar ditawarkan mimpiku demikian lapar memagut-magut aksara begitu gelepar demikian debar menantimu setiap saat terasa akan senja inikah tepi tapi ini hanya sepi mematri dalam gelisah tanya sungguhkah aku mencintaimu kurasa engkau tak henti menatapku begitu tajam menelusup ke dalam ruang-ruang di mana khianat sembunyi kau marah terasa keringat mengucur dalam dingin hira dalam darah golgota dalam cahaya tursina seperti juga adam yang terlontar kulihat lidah menjulur-julur inikah goda menipu diriku ku tahu kau tahu sungguhkah aku mencintaimu

sebagai deras hujan beterjunan membasah tubuhku airmata di mana tarianku tak juga usai seperti kucari engkau seperti kurindu engkau tapi kau adalah jarak begitu panjang dan berliku rahasia tak henti

dalam diamku jalan terbentang menuju diri menuju engkau didakidaki gunung tinggi diselamselam lautan dalam dijumpajumpa dirimu juga dengan tanya dengan cemas dengan harap dengan mimpi ditaritari puja ditaritari puji dirindu kekasih dirindurindu

inilah gelombang di mana sunyi mengamuk membandang ke pantai pantai gelisah ke karang karang keteguhan sebentar kan lungkrah demikian badai menghilangkan suar perahu hilang arah ke mana dayung kan dikayuhkan inilah gelombang sunyi menghantam dada terimalah wahai pecinta tak engkau menari bersama darah setangis puisi tak sampai pada kata meliuklah pecinta menahan pedih sunyi sendiri merindu wajah kekasih melintas-lintas saja inilah gelombang rindu mendera waktu mencium garang melumat tandas segala birahi bersiaplah tak ada sesal lagi kini

hingga hari-hari lingsut dalam gelisah waktu ku biarkan mimpiku kembara menikung menanjak pendakian tak sampai pendakian tak sampai hingga meleleh keringat airmata darah pada tuju ku kira fatamorgana adanya menyamarkan pandang arah segala tuju o silau cahaya menusuk mata membakar kenang jadi abu dalam dada dalam dada di mana kan disemayamkan segala perih selain dalam langkah tak henti mencari dan mencari hingga mimpi menjadi atau mati mengakhiri

di mana engkau di mana engkau o yang dirindu waktu demi waktu dicari wajahmu di alir-alir darah detak nadi denyut jantung tak kujumpa engkau o yang dirindu bibir gemetar melafazkan nama di mana engkau o kekasih diri hingga mati tak berhenti tercari

wahai maha rahasia demikiankah cinta hingga bergetar setiap namamu dikatakan bagaimana darah dan airmata dipersembahkan karena cinta padamu atau kucintai diriku sendiri harga diriku sendiri hak kemanusiaanku sendiri karena juga cinta padamu wahai maha rahasia wahai maha rahasia demikiankah jalan cinta penuh kepedihan

berlarilah berlari dari pasti dengan ragu menggoyahkan kaki kaki langit hati berderak derak setumbang tumbangnya jatuh merapuh lapuk merontalah meronta dari tindas paksa melilit tubuh tangan kaki melepas tandas melunas tuntas segala ingin o diri hingga sampai pada tepi memuaralah airmata memuara cinta memuara rindu memuara tawa memuara cemas ke samudera asal mula waktu segala waktu segala awal akhir o diri hingga tumpas segala nyeri

selesat tikam o parau jerit perih mencucukcucuk jantung hati demikian persembahan darah simbah menuai tuai janji takdir inilah amarah amuk rindu dendam tak bermata menuju segala tuju membandangbandang gairah syahwat menyingkap rahasia telah hancur kota kota ya kekasih telah hancur merata lantak luluh demi cinta atas namamu mendebu segala laknat sempurnalah sempurnalah kehendak jadi maka jadilah segala pinta segala ujar demi rindu demi engkau kekasih terimalah persembahan darah dan airmata

menderaslah menderas impian sebagai kenangan di sungai-sungai rinduku di laut gelombang hempas-hempas lelayar mengarah tuju hingga lunas segala pinta segala ujar ke dalam arung tak berbatas tepi karena inilah derita yang ditawarkan lewati ambang hidup mati di sekarat maut sebagai gelisah mencari dan menemu wajahmu wajahmu melindap-lindap dalam harap buruan tatap bayang menghilang bayang membayang kenang berdentang-dentang di sunyi diri di hiruk pikuk hibuk diri sendiri gemuruh dalam dada debar di jejantung mendegup-degup menyeru seru memanggilmu sepenuh rindu

o pecinta menarilah menari berputar-putar dengan gemulai keindahan cinta yang berputar dalam atom yang berputar dalam masjidil haram seperti bumi berputar seperti planet berputar seperti galaksi berputar alam semesta berputar dalam cinta

bulan hanya bintik di ujung cakrawala tanda di sini gerbang pertama kan dimasuki di mana doa-doa disampaikan dengan perut lapar sejak fajar tumbuh hingga senja tiba menenggelamkan matahari ke balik malam hingga mendekat diri pada ampunan pada limpahan sayang pada kemenangan hingga leburlah diri leburlah ke dalam kesejatian awal mula diri hingga cahaya benderang cahaya 1000 bulan cahaya wajahnya yang kurindu kau rindu kita rindu mereka rindu menerang terang sepanjang hidup kita sepanjang usia hingga tak tersiasia hidup hingga arti tertemui diri sendiri dalam nadi darah sendiri mengalir sekujur tubuh di jejantung di bilik-bilik bisik cinta di senyap dinihari mengembunembun percakapan kekasih kalbu lewat degup lewat debar menyelinap tatap tersimpan di dada sunyi catatan riwayat cinta yang dibubuhkan dihembuskan kekasih ke dada cinta

engkau menawan hati dengan pendar cahaya para pecinta tertawan menjadi hamba yang menyerahkan segala o cahaya maha cahaya singkapkan wajah cahaya sesungguhnya sebagai musa di tursina para pecinta menggigil menemu cahaya

walau semua bilang kau tiada kau tetap ada karena hakikatnya kau adalah ada itu sendiri sementara yang tiada apakah ada jika tak kau adakan hingga yang tiada nampak ada nyata ada kau yang ada tak risau ditiadakan adamu karena sungguh segala tiada tak juga memahami adamu sejati adanya

siapa menolak siapa siapa menerima siapa siapa mengaku siapa siapa mengiya siapa ah mengapa diterima segala bukan engkau ah mengapa ditolak engkau sesungguhnya gemetar tursina gemetar golgota gemetar hira kau maha rahasia kau maha rahasia siapa mengeja siapa siapa menafsir siapa siapa membaca siapa siapa merahasia siapa siapa mencanda siapa ah mengapa dicinta cinta segala bukan engkau ah mengapa dibenci benci engkau sesungguhnya gemetar aku gemetar sampaikah ucap pada tolak segala yang bukan engkau sampaikah ucap pada terima hanya engkau sampaikah

lalu kutolak segala macam tuhan tak ada tuhan sebagai kubaca ibrahim menolak matahari rembulan bintang namruz dan patung berhala tak ada tuhan tak ada tuhan sehembus napas la illaha kutolak segala macam tuhan kuhisap napas kecuali engkau allahku

biarlah engkau candu aku akan menghisapnya terus tanpa henti karena rindu wajahmu adalah candu yang telah menganak sungai dalam darahku hingga aku tak dapat melepaskan keinginan untuk terus menghisap candu cahayamu hingga jiwa cahaya menemukan kekasihnya yang abadi dalam gelombang cahaya mabukku o kekasih diri bumi langit matahari bintang semesta cinta menari-nari dalam debar takjub kepayang dalam mabuk candu cahaya yang tak henti kuhisap dalam nyeri rindu wajahmu

dan akupun mabuk cahaya selarik cahaya melesat dari jemariku ketika kucoret namamu pada sedinding cahaya cahaya mencahaya berpendar mencahaya cahaya aku mabuk cahaya seteguk demi seteguk aku tenggak cahaya aku mabuk cahaya igauku cahaya mimpiku cahaya rinduku cahaya cintaku cahaya tak engkau di mabuk cahaya tak engkau tahu di timur barat mula cahaya tak engkau tahu engkau mabuk cahaya

aku bergelayut di tali semoga tak goyah melemah jemari kukuh memegang cinta kasihmu kekasih aku bergelayut di tali jangan sampai terpelanting terbanting ke jurang-jurang nganga aku bergelayut di tali memanjat hingga sampai di hadapmu kekasih yang tak henti dicari hingga gapai hingga capai

belailah aku dengan penuh rindu kekasih aku lelah hendak istirah begitu banyak goda di segala simpangan betapa banyak walau hanya engkau sesungguhnya segala tuju hanya engkau yang tak henti-henti mengasihi seperti kau belai adam dengan cinta aku lelah kekasih dunia menyilaukanku menutup mata hatiku menutup keindahanmusungguh aku demikian lelah

ke muara asal mula melaut segala duka cita suka cita menyatu dalam ke muara asal mula menemu segala alir mimpi arus rindu dendam cintamu ke muara asal mula telan akumu gelombang samudera demikian hempas

demikianlah hidup harus terjalani juga dengan tanyaku tak terjawab tak berjawab dalam benak segala tanya dalam mimpi segala angan demikian ragu menggodaku selalu selalu hingga aku lelah melangkah ke ujung cakrawala ke ujung sepi sendiri merindurindu kekasih merindurindu

semesta melebur dalam diri engkau aku dalam cinta getar gemetar lafalkan satu menyatu o semesta menari dalam diri demikian ritmis berputaran gemintang bercucuran hujan berhembusan angin o leburlah dalam cinta dalam diri semesta diri

hingga akhirnya hingga saatnya berdenting waktu ingatkan pada titik di mana kan berhenti tapak menjejak kaki mencari diri tak kembali demikian hablur lukisi cakrawala diam fatamorgana melari-lari ke ujung harap demikian kekal sunyi sesudut takut semuara kecut hingga akhirnya hingga saatnya kata mengucap jam telah lewat

detik kan berhenti dan sunyi merungkupku dengan mimpiku sendiri o aku manusia yang resah menjangkau cakrawala dengan benak penuh tanya sebagai keabadian jawab adalah tanyaku sendiri menghitung tiktak jam berdetik menuju segala batas ucap ucapkan selamat tinggal pada segala cinta dunia yang fana

inilah sujudku di hadapanmu wahai kekasih jangan palingkan muka karena rindu wajahmu menggoda selalu berilah senyummu berilah agar tenang ini diri agar tenang tak gelisah melulu inilah sujudku meminta ampunmu lihatlah dadaku demikian luka dengan segala kesah dan gundah merindumu merindu tak habis-habis waktu dengan ratap mengharap tatap o airmata sampaikah memuara di lautmu inilah sujudku dengan rindu telah porak hari-hari pertarungan kelahi dengan diri sendiri hanguslah o hati mawar yang kau beri dari taman seribu bunga demikian remuk demikian redam diamuk rindu dendam inilah sujudku memohon cintamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar